Jakarta, Rifan Financindo - Atim Suryadi tengah bersantai di beranda rumahnya. Pria berusia 35 tahun ini sedang melepas lelah pasca mengajar siswa usia Sekolah Dasar di dekat rumahnya. Sambil menghisap sebatang rokok, ia berkisah mengenai dusun yang telah menjadi tempat tinggalnya selama 11 tahun terakhir. "Saya sudah tinggal di sini sejak tahun 2006. Saya aslinya dari Bekasi. Ke sini karena ingin mengajar anak-anak di dusun sini," ujarnya kepada CNNIndonesia.com belum lama ini.
Atim merupakan satu dari warga dusun Sukamulya, yang merupakan bagian dari Desa Mulyasejati di Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Dusun ini persis terletak di tengah lebatnya hutan jati yang dikelola oleh Perum Perhutani (Persero). Luasnya tak begitu besar. Bahkan, hanya 75 Kepala Keluarga (KK) yang bernaung di dalamnya. Kendati demikian, diperlukan jibaku yang luar biasa demi mencapai dusun tersebut. Untuk menuju dusun Sukamulya, masyarakat hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan motor sejauh 5 kilometer (km) dari dusun terdekat, yakni dusun Cisaga. Sebab, jalanannya begitu terjal, menukik, sempit, bahkan tak beraspal. Salah langkah sedikit, bisa berujung pada bahaya. Kondisi ini semakin ironis mengingat jarak dusun Sukamulya dengan Jakarta hanya sejauh 88 kilometer (km) saja. Namun, karena minimnya akses, dusun Sukamulya justru memiliki nuansa yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk. Oleh karenanya, ia merasa bersyukur bisa menjadikan dusun Sukamulya sebagai peraduannya selama satu dekade terakhir. Apalagi, ia juga telah menemukan tambatan hatinya di pedalaman hutan jati ini, yang tiga tahun belakangan sudah resmi menjadi istrinya. "Di sini pun warganya saling dekat satu sama lain, karena jumlahnya juga tak banyak. Suasananya tenang. Makin betah karena istri pun masyarakat asli sini," paparnya. Setelah puas bercerita, ia pun menunjuk jalan kecil yang terletak persis di samping rumahnya. Atim menyebut, jalan tersebut bisa berujung ke waduk Jatiluhur yang dianggapnya cukup dekat dengan dusun Sukamulya. "Dusun ini sangat dekat dengan Jatiluhur. Namun sayang, jalannya terbilang buruk dan lebih terjal dibanding jalan menuju ke kampung ini," tuturmya. Bendungan Jatiluhur adalah bendungan terluas di Indonesia. Waduk seluas 8.300 hektare ini memiliki potensi air 12,9 miliar meter kubik per tahun dan bisa menghasilkan listrik sebesar 187 Megawatt (MW) dari enam turbin yang dikelola Perum Jasa Tirta II. Dengan kapasitas nan fantastis itu, tak heran jika Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatiluhur dinobatkan sebagai PLTA terbesar di Indonesia. Ironis, meski dekat dengan sumber listrik, warga dusun tak pernah mencicipi setrumnya. Sejak datang ke dusun Sukamulya, Atim bercerita bahwa wilayah tersebut sudah terbiasa dengan kondisi gelap gulita. Hal ini makin kontras kala warga bisa melihat kerlap-kerlipnya kota Karawang dan Purwakarta di malam hari dari tebing yang berlokasi di dekat rumahnya. "Memang, cukup berbeda, jika kami lihat dari atas sini, kami bisa lihat kota Karawang dan Purwakarta yang terang malam hari. Lampu-lampunya cantik, beda dengan di sini," imbuh Atim. Padahal, menurutnya, listrik adalah kebutuhan mendasar bagi kehidupan saat ini. Jika ada listrik, ia yakin dusun Sukamulya bisa jadi lebih produktif dan bisa melakukan diversifikasi mata pencahariannya selain menjadi petani. Oleh karenanya, ia berinisiatif membeli sebuah generator diesel dengan besaran 5 ribu Watt sebagai sumber listrik utama. Listrik itu kemudian disalurkannya ke warga sekitar yang membutuhkan tanpa dipungut biaya sepeser pun. "Silahkan saja ambil listriknya, gratis. Asalkan, warga punya kabel untuk menyambung listrik dari generator itu ke rumahnya," terang Atim. Puas berkisah, ia pun pamit kepada istrinya menuju Sekolah Dasar Mulyasejati IV, tempat di mana ia mengabdi. Rencananya, ia akan mengganti bendera merah putih yang sudah lusuh dan terkoyak dengan bendera baru yang lebih bersih. Waktu tempuh dari rumah ke sekolah memang hanya 10 menit, namun dengan kondisi jalan yang terjal, perjalanan terasa begitu lama dan berat. SD Mulyasejati IV merupakan tempat belajar bagi 12 siswa yang semuanya adalah warga dusun Sukamulya. Bangunannya terbuat dari kayu dan memiliki tiga bilik. Dua bilik untuk mengajar, dan satu bilik sisanya digunakan sebagai perpustakaan. Sebagai satu-satunya pengajar di sekolah itu, Atim sudah khatam ihwal suka duka yang didera anak didiknya selama ini. Lihat juga: Menakar Kemampuan Anggaran Jokowi Pangkas Kemiskinan di 2018 | PT Rifan Financindo Menurut Atim, siswa di sekolahnya sangat antusias untuk belajar. Namun, karena ketiadaan listrik, murid-muridnya menjadi tidak melek teknologi. Hal ini sangat disayangkan, karena kepahaman mengenai informasi dan teknologi merupakan bekal utama ilmu pengetahuan dewasa ini. Jika teknologi bisa masuk, maka sifat penasaran anak-anak akan segala hal bisa terpuaskan. Atim pun akan sangat gembira mengajarkan informasi dan teknologi kepada anak-anak karena ia sendiri pernah mengenyam pendidikan tinggi di jurusan Manajemen Informatika. Meski memang, ia tak menyelesaikan pendidikan itu dan merantau ke dusun yang dikelilingi pohon-pohon jati tersebut. "Anak-anak memang perlu diajarkan teknologi sejak dini, karena jika disuapi belakangan, mereka akan kagok. Sayang, karena ketiadaan listrik, mereka jadi tak bisa merasakannya. Padahal, kalau ada listrik, saya mau memasang komputer di sekolah. Karena melatih kemampuan dan mendapatkan informasi semuanya kini berasal dari layar komputer," katanya. Selain kehilangan kesempatan untuk mengenal teknologi, ketidakhadiran listrik juga membuat siswanya tak bisa membaca buku di malam hari. Padahal, rajin membaca adalah pangkal berpikir secara kritis. Apalagi, perpustakaan di sekolah pun memliki berbagai buku bacaan, meski koleksinya memang tidak begitu banyak. "Kalau gelap, bawaan anak-anak kan ingin tidur saja, karena tidak ada hal lain yang bisa dikerjakan. Mungkin, kondisi ini bisa berubah kalau ada listrik," imbuhnya. Rifan Financindo
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
October 2018
Categories |